Traveling

Perjalanan Bodoh di Patagonia Part 2

Lanjutan dari cerita perjalanan bodoh di Patagonia

Hari itu saya memutuskan untuk mengganti rencana perjalanan saya yang semula ke bagian barat menjadi ke bagian timur taman nasional Torres del Paine. Di sini saya hanya akan melakukan day trip ke Mirador Base las Torres, tadinya. Berhubung kesepakatan telah dibuat, print out campsite O Circuit saya selama 8 malam akan saya berikan kepada Enrique, dan dia akan memberikan bukti reservasi campsite W trek ke saya. Tapi nanti, setelah akhir perjalanan, alias sore harinya.

Setelah selesai turun dari bus dan registrasi di kantor Conaf, saya melanjutkan perjalanan dengan naik bus lainnya ke parkiran di Central. Setelah turun dari bus kami langsung jalan ke Campamento Central untuk naro ransel dan set up tenda, bukan saya, saya mah numpang naro ransel doang. Sambil menunggu si bocah latino, saya cemilin doritos sambil duduk di bangku piknik dan ngobrol sepatah 2 patah kata dengan backpacker dari Argentina yang baru saja menyelesaikan trekking full circuit. Dia nyetel lagu latin kenceng banget. Saya mah ngemil aja di depan dia dengan cueknya.

Kemudian Enrique datang dan kami pun memulai perjalanan kami. Dia menunjukan di mana lokasi tendanya digelar. Terus dia cerita gitu, “Nih ya lo kalo mau beli tenda yang bagus, pake tenda yang itu!” “Lah itu mah saya juga punya haha.” Saya kerepotan antara pegang 2 buah trekking poles dengan doritos, akhirnya untuk mempercepat langkah saya menyimpan kembali snack saya ke dalam ransel lipat. Saya lihat banyak pup kuda di jalan, saya melangkahkan kaki hati-hati supaya nggak nginjek salah satunya.

Cuaca di bulan Maret di Patagonia saat itu cerah, dengan matahari yang bersinar dengan cantiknya. Dari kejauhan tampak tebing batu yang menjulang dengan tinggi dari kejauhan. Kami (rencananya) akan ke sana, Mirador Base las Torres. Jarak dari tempat saya memulai langkah dari Camp Central ke sana ada kali belasan kilometer. Dari kejauhan saya sempat melihat Ecocamp Patagonia, penginapan mewah dan mahal di dalam taman nasional.

Padahal saya baru memulai perjalanan dan saya udah mulai ngos-ngosan. Si bocah latino ini ngoceh terus ngajak saya ngobrol, saya sibuk ngatur napas. Di sini nggak perlu takut kena altitude mountain sickness karena nggak tinggi banget kaya di Cusco. Setelah beberapa melewati hamparan tanah yang luas, beberapa saat kemudian kami melewati sungai kecil dan menyebrangi jembatan kayu. Di sana kami bertemu dengan kakak beradik Jason and who? Mereka minta tolong kami buat fotoin mereka, tapi kami menolaknya. “Sorry kami lagi buru-buru!” Jawab si Enrique.

Dalam hati saya mikir, ini bocah jalannya cepet banget. Perlahan tapi pasti kami mulai menapaki jalan menanjak. Saya selalu berjalan di belakang dia. Beberapa kali dia hilang dari pandangan saya karena jalan dengan cepatnya. Akhirnya saya memutuskan untuk minta ditinggal. Saya nggak terbiasa nyusahin orang. Saya nggak bisa mengikuti kecepatan langkah kakinya. Dan saya juga nggak enak memperlambat perjalanan orang. Saya minta ditinggal aja, nanti kami ketemu lagi di atas (kalo saya nyampe).

Saya baru merasa lega setelah ditinggal. Emang biasa juga jalan sendiri kan. Cuacanya dingin tapi panas, gimana tuh. Semakin lama jalurnya semakin menanjak dan curam. Sebentar-sebentar saya istirahat. Saya mulai keringat dingin, dan mengeluarkan snack bar dari dalam ransel. Terus kok mual gitu yaaa. Lha saya baru nyadar kalo saya belum sempat makan, padahal waktu itu udah menunjukan waktu makan siang. Lah kok bisa lupa makan gitu padahal kan makan itu penting untuk menjaga stamina tubuh.

Saya inget setiap kali googling yang muncul adalah lereng curam yang luas. Saya jalan sambil berharap tiba di lokasi itu. Benar saja, akhirnya saya melihat lereng curam yang guede banget. Ini dia! Sebelah kiri gunung, sebelah kanan jurang. Saya harus jalan extra hati-hati di sini. Di sini anginnya mulai nggak karuan. Saya beberapa kali harus menancapkan trekking poles dan berjalan dengan perlahan supaya nggak ketiup angin. Pantesan dinamain windy pass, lha anginnya kuenceng begitu. Nyeremin banget angin di taman nasional TdP ini. Nggak ada tempat pegangan pulak, kepeleset dikit bhay.

Selama jalan itu saya dilewati terus. Sampai pada akhirnya hanya ada saya sendiri di trek. Saya heran kok orang-orang pada jalan cepet bener. Saya nggak memaksakan diri saya sih. Kalo udah capek saya akan istirahat. Saya melihat ada eek kuda lagi di atas. Setelah entah kilometer ke berapa saya tiba di Refugio and Camping El Chileno. Untung saya nggak milih untuk nginep di sini, tinggi banget.

Setelah berjalan di lereng yang sangat jauuuuuh sekali dan melewati refugio Chileno, saya melewati sebuah jembatan dan trek di tengah hutan. Pohon di sekeliling saya mengingatkan dengan film Lord of the Ring. Nggak gelap gitu sih tapi saya suka aja suasananya. Selain saya ada lagi cewek yang jalannya lama kaya saya dan ibu-ibu bule. Mereka sih ngobrol, sementara saya keluarin gopro dan sibuk ngerekam. Saya bikin video buat apa coba, sampe sekarang males banget ngeditnya.

Lama-lama saya lemes, saya panik liatin waktu di jam saya dengan jadwal bus terakhir. Saya galaw antara mau lanjut atau enggak. Udah sejauh ini, dan udah kesorean kalo saya mau lanjut ke atas. Padahal tinggal 1 jam lagi menuju puncak. Saya dihadapkan pada kebimbangan dan kegalauan, lebay yah. Lanjut enggak lanjut enggak. Kalo saya ketinggalan bus saya mau tidur di mana ntar malam. Tendanya Enrique cuma cukup buat 1 orang, dan saya nggak bawa sleeping bag dan bahan makanan pula. Mau ngemper di depan cafe di dekat parkiran kok ya nggak bakalan tahan dinginnya. Akhirnya saya memutuskan untuk turun gunung saat akan mencapainya.

Saya sedih banget, nggak sampai ke atas. Semua rencana saya berantakan. Saya sudah bepergian sejauh ini dan menyerah. Tapi kondisi fisik juga nggak memungkinkan, saya lupa kalo saya belum makan seharian, dan yang paling parah saya nggak tidur semalaman. Saat turun gunung saya mulai keringat dingin dan keliyengan. Saya mulai haus tapi air minum di botol udah abis. Betapa bahagianya saya saat menemukan sungai deras dengan air yang jernih. Saya turun ke bawah jembatan dan duduk di bebatuan sambil menadahkan botol air mineral dan mengambil air yang mengalir. Saya minum dengan lahap kaya orang abis buka puasa. Air yang segar dan dingin telah mengembalikan dahaga saya. Saya duduk sejenak di bebatuan di sungai sambil memandang pemandangan di depan saya. How lucky i am to be here. Setelah dirasa cukup (kembung), akhirnya saya kembali melanjutkan perjalanan saya. Hari mulai sore dan saya harus berpacu dengan waktu.

Saya mulai keringet dingin lagi dan sempat blank gitu. Saat tiba di refugio Chileno saya langsung duduk di bangku piknik dan tidur selama 5 menit. Bau pup kuda udah nggak saya hiraukan lagi. Saya pun tertidur pulas, walau cuma sebentar. Hari semakin gelap dan mulai mendung, tetes hujan mulai membasahi. Saya langsung mengenakan jaket waterproof dan memaksakan diri untuk turun. Saya kembali berjalan di lereng curam dan penuh kerikil licin. Di sini treknya nggak serem sih, cuma karena lagi nggak enak badan jadi ngeri juga. Saya sempet kepeleset kecil gitu tapi masih bisa nahan diri. Saya kembali berjalan terus terus dan terus, dan tiba-tiba saya kepeleset sampe keguling gitu. Saya langsung meraih dedaunan di semak-semak terdekat dan memegangnya dengan erat. Nyaris, kalo nggak pegangan bisa nyungseb ke jurang hihi. Lutut saya lemes dong. Gilak gilak gilak.

Seorang bapak-bapak yang jalan di belakang saya langsung lari dan menolong saya. Dia menanyakan keadaan saya dengan bahasa spanyol. Kemudian setelah dibantu berdiri saya kembali melanjutkan perjalanan saya sambil meringis cengengesan hahahahahaha. Geblek dah! Terus nggak lama kemudian ada cowok nyamperin saya dan kembali menanyakan keadaan saya.

“Mbaknya nggak apa-apa? Tadi saya liat mbaknya jatoh nyusruk gitu, saya kan jadi kuatir. Ayo sini saya temenin!”
“Ehhh nggak usah mas, saya bisa sendiri kok!”
“Gpp. Mbaknya udah makan belom? Mau apel, pisang, pear??”
“Belom makan. Eh boleh deh, saya mau apelnya dong!” Nggragas temen yo aku.

Si masnya langsung cuci apelnya dan sodorin ke saya. Lah kok ada orang baek gini di entah berantah. Saya jadi nggak enak kan. Yaudahlah, kata mamah dede (temen kantor) kebaikan orang itu jangan ditolak. Kemudian dia menawarkan diri untuk membawakan ransel saya. Ketika melewati trek yang curam saya minta tolong dia supaya pinjemin tangannya, daripada nyungseb lagi kan. Nggak ada maksud apa-apa kok haha. Sambil turun kami ngobrol ngalor-ngidul. Ternyata dia adalah orang Brazil yang lagi liburan bersama dengan teman-temannya. Dia memisahkan diri dari temannya untuk menemani saya. Setelah memastikan saya turun dengan selamat, kami pun berpisah. Sampe sekarang saya bahkan nggak tau namanya. Hmm nganu cuma mau bilang makasih aja.

Saya kembali ke campamento central untuk mengambil ransel saya yang gede di tenda Enrique. Saya punya masalah sulit mengingat tempat. Untungnya saat itu saya inget di mana tendanya dia. Saat saya menghampiri tendanya dan membuka tirainya, saya mendapati ransel saya berada di dalam tenda yang seletingnya terkunci rapat atau digembok. Yaaaaahhhh, tas saya gimana ini. Bus udah mau dateng. Saya pasrah aja ninggalin ransel saya. Sebelum pergi saya selipin tisu bukan bekas keringet diantara gembok sebagai tanda kalau saya pernah ke sana. Palingan besok saya balik lagi atau minta dikirimin ranselnya ke Tangerang.

Sesampainya di cafe di dekat parkiran saya memesan hot chocolate seharga 100 rebu dan minum sambil berdiri dan menatap jendela kaca. Hari itu telah saya lalui dengan banyak rintangan. Saya sedih karena tidak mencapai misi saya, tapi saya juga senang karena saya berhasil jalan sejauh ini seorang diri. Sebelum hot chocolate sempat saya habiskan, bus yang akan membawa saya ke gerbang Tdp pun datang. Saya membawa coklat panas saya ke dalam bus dan duduk manis di dalamnya. Dari kaca jendela bus saya melihat si bocah latino berlari menghampiri bus saya dan dia pun naik sambil membawa ransel ungu. Kemudian saya ambil ransel saya dan memberikan kertas berisi print out reservasi campsite selama 8 hari kepadanya. Kemudian kami pun berpisah. Dia udah nyodorin diri untuk memeluk dan cipika-cipiki tapi saya tolak. Maap, nggak bisa bang! Saya lupa tradisi salam sapanya orang latino itu peluk dan cium pipi kanan kiri hahaha.

Udah selesai sampai di situ cerita perjalanan sehari saya yang penuh keringat, tawa dan kebodohan. Apakah saya menyesal? Enggak. Semakin jauh saya bepergian saya semakin bersyukur. Semakin jauh saya traveling saya semakin cinta Indonesia. Perjalanan selama 2-3 jam dari TdP ke Puerto Natales nggak berasa. Saya tertidur lelap di bus saking lelahnya. Badan saya rasanya sakit kaya abis digebukin orang sekabupaten. Sesampainya di terminal bus saya langsung kembali ke hostel ditengah hujan yang lumayan deras. Terus terus terus saya baru nyadar kalo saya belum booking kamar untuk malam itu. Tadinya kan saya akan bermalam di tenda di TdP kalo rencana saya berjalan lantjar. Saya tanya Carlos dan mas yang satunya yang jaga hostel, apakah masih ada kamar lagi. Mereka menjawab bahwa kamar untuk malam itu sudah terisi penuh. Saya menatap si mas-masnya dengan pandangan melas dan menanyakan kembali, “Can i stay here, please!”

Saya diliatin anjing hostel yang lagi melungker di sofa empuk seakan sedang mengejek saya. Kalo kepepet saya tidur di sofa sama anjing juga nih. Terus saya baru ngeh kalo di lantai atas ada common room yang nyaman. Saya menanyakan mereka apakah saya boleh tidur di lantai atas. Salah satu dari mereka nanya bosnya yang lagi di kamar di lantai atas. Saya dag dig dug menunggu jawaban mereka. Saya benar-benar homeless dan sebatang kara di Amerika Selatan ini. Kemudian si mas datang dan bilang, “Iya, kamu boleh tidur di atas.” Asiiiiiiiikk!! Alhamdulillah. Selama ada heater dan selimut tebal saya merasa aman.

Advertisement

14 thoughts on “Perjalanan Bodoh di Patagonia Part 2”

  1. Pahit, ya. Tapi seru. Hahaha… Tiba-tiba saja jadi inget ceritanya Cheryl Strayed yang trekking Pacific Crest Trail. Hari-hari pertama dia ngos-ngosan juga, jalan sendirian, jatuh, kakinya lecet. Tapi memang susah banget nyamain pace pas trekking sama temen yang baru ketemu di jalan. Apalagi kalau berasal dari kultur yang beda.

    1. Pahit memang, tapi ini jadi pengalaman paling berharga hehe. Aku mau dong hiking PCT, tapi tapi tapi banyak tapinya hiks. Kalo di Indonesia saya jadi orang yang jalannya paling cepat diantara orang sekitar, tapi kalo lagi hiking di sana kok jadi paling lelet kaya keong wkwkwk

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s