Uncategorized

Pengalaman Mengurus Dokumen di Kelurahan

Sebelum mulai membaca blog ini marilah kita pertama-tama mengucapkan Bismillah, karena cerita ini akan sangat panjang dan menguras emosi. Dari dulu sebenarnya saya paling malas kalau disuruh mengurus sertifikat pertanahan milik bapak saya. Bukan apa-apa, saya enggan mengeluarkan uangnya. Lebih tepatnya nggak punya duit sih. Sampai akhirnya bapak saya berpulang, dan saya sebagai ahli waris mau nggak mau mengurus rumah/tanah alm bapak.

Saya sering mendengar sekilas tentang mafia tanah, drama pengurusan tanah atau apalah itu. Kok ngeri amat yaa. Sebagai orang awam yang duitnya pas-pasan saya tentu lebih memilih untuk mengurus segala sesuatunya seorang diri. Seperti ketika saya mengurus visa untuk perjalanan saya ke luar negeri. Mengurus itinerary perjalanan sampai hitung-hitungan berapa biaya yang diperlukan juga seorang diri sampai kepala pening, tapi saya hepi ngerjainnya. Tetapi tidak dengan urusan pertanahan. Awalnya saya mau mengurus sendiri tapi… dahlah pake notaris aja.

Semenjak bapak meninggal, kami sebagai ahli waris atau anak-anaknya inisiatif untuk mengurus sertifikat rumah milik alm bapak saya. Ahli waris ini kan lagi berduka kan yaaa. Boro-boro tuh mikirin warisan, kami sih nggak peduli sama warisan lha wong bisa cari duit & beli rumah sendiri. Shombong! Wkwkw. Ya, pendidikan adalah warisan terbaik untuk anak-anaknya. Tapi di mata orang, ketika mendengar warisan mereka langsung berbinar-binar seakan-akan kecipratan bagian.

Saat lagi berduka, kami buru-buru urus surat-surat untuk pengurusan administrasi untuk pengurusan sertifikat rumah, taspen dan bank. Maka kami mulailah dengan mengurus akta kematian, surat ahli waris, surat kuasa ahli waris, surat keterangan riwayat tanah endebrei endebrei buat persyaratan pengurusan sertifikat rumah tapi nggak uwis-uwis. Akta kematian dan surat ahli waris sih lumayan cepet ya 1-2 mingguan. Tapi surat keterangan riwayat tanah dkk yang nggak kelar-kelar soalnya banyak drama.

Baiklah, mari kita mulai dengan cerita seorang ibu-ibu pake kaos oblong dan celana kulot sambil bawa gendongan menggendong anak batita yang lucu (eh saya itu maksudnya) ucluk-ucluk menghampiri kantor BPN untuk mencari informasi. Sebenarnya saya udah dapet informasi dari om saya yang juga menjabat sebagai kepala BPN di tempat nan jauh di sana, tapi kan saya kepo sok-sokan nanya-nanya ke loket CS di BPN. Dari CS saya diarahin nanya-nanya ke bapak A yang jaga di luar. Dari sana saya diarahin ke Pak B di kelurahan X buat minta letter C. Saya Ucluk-ucluk ke kelurahan X tanpa googling mau minta apaan.

Sesampainya di kelurahan saya bertemu dengan Bapak B (yang menjadi pemeran utama cerita saya di sini). Jadilah saya duduk bego di depan meja salah satu petugas sambil diminta berkas. Terus saya pulang sambil bingung gitu. What did i do? Gw ngapain ya ke sana? Kok malah diminta berkas terus gw nurut aja. Krik krik krik…

Saya dimarahin kakak karena saya salah alamat. Bener sih emang ke kelurahan, tapi bukan kelurahan X tapi ke kelurahan Y. Karena sebelum pemekaran, penerbit letter C-nya di kelurahan Y. Katanya bahaya ngasih berkas beberapa hari kemudian akhirnya kami ambil lagi berkas di Pak B di Kelurahan X.

Keesokan harinya, saya, ibu dan kakak langsung ke kelurahan Y buat minta letter C. sehari kemudian ditelepon dan sudah bisa ambil letter C. Wah cepet banget. Tapi tetep disuruh ke kelurahan X lagi buat minta surat keterangan riwayat tanah, surat keterangan tidak sengketa, surat keterangan belum bersertifikat, surat keterangan kepemilikan tanah secara sporadis. Saya sempat nawar dan memohon kepada petugas loket agar dapat ngurus surat keterangan riwayat tanah di sana aja di kelurahan Y. Tapi kan nggak bisa ya, kan udah ada kelurahan yang baru. Saya enggan ke kelurahan X. Oh nooo! Membayangkannya saja saya langsung mules nggak karuan.

Dengan berat hati akhirnya kami balik lagi ke kelurahan X dan ketemu pak B lagi. Pertama kali ke sana itu tanggal 26 Mei 2023. Saya ke sana berdua dengan kakak saya, untuk bertanya mengenai surat yang dibutuhkan dari kelurahan. Tapi petugas loket kembali mengarahkan ke BAPAK B ya (sengaja pake huruf besar saja). Di sana tu ybs muter-muter ngomong tapi nggak dapet poinnya. Intinya mah dia nggak mau ngeluarin itu surat 4 biji doang. Maunya ngurusin paketan gelondongan sampe jadi. Lhoo!? Kakak saya kan kepo, berapa pak, berapa pak? Ditanya berapa harganya dia kagak nyebut angka. Malah ngajak ketemu di luar kantor.

Pak B ngajak ketemuan di luar buat ngomongin soal harga kalau dia ngurusin paketan sertifikat terima jadi. Pada pertemuan pertama, karena saya sedang dinas ke luar kota maka diwakili oleh salah satu anggota keluarga saya. Didapatlah angka untuk pembuatan dokumen yang bukan jadi SHM, melainkan hanya APHB (Akta Pembagian Hak Bersama). Apa pula itu??

Ybs nggak sabaran, besokannya ngajak ketemuan lagi buat deal-dealan. Deal uopoooo, saya aja nggak ngerti dokumen apa yang mau dia urus itu. Akhirnya ketemu lagi deh kami ber-4. Ybs, saya dan keluarga saya. Saya keberatan dengan harga yang dia tawarkan dan belum memutuskan akan memakai jasanya untuk membuat APHB yang harganya senilai gaji saya setahun. Saya mau bikin SHM bukan APHB. Saat saya lagi gendong anak yang lagi rewel di kejauhan tiba-tiba mereka sudah salaman. Lhoooo, kok bubar, kan saya belum bilang iya. Karena masih terjadi keraguan diantara saya dan kakak saya. Saya mau bikin SHM demi legalitas kepemilikan tanah, sedangkan kakak saya pengen APHB demi kecepatan proses. Kan saya yang punya duit, terserah saya dong.

Kepala saya ruwet sepulang dari pertemuan itu sampe nggak bisa tidur. Keesokan harinya saya konsultasi dengan notaris kenalan teman saya kemudian mencurahkan kegalauan dan keruwetan di kepala saya. Bu notaris menjelaskan dengan gamblang sambil corat-coret perhitungan biaya dengan tabnya. Saya cerita semua pengalaman saya bolak-balik ke kelurahan yang nggak kelar-kelar. Akhirnya bu notaris pun sewot dan kesel dengerin cerita saya hahaha.

Beberapa hari kemudian saya kembali menemui BAPAK B dan meminta semua dokumen dan bilang kalau saya mau pakai jasa notaris yang biayanya jauuuuuh lebih murah daripada biaya yang ditawarkan BAPAK B. Sebelumnya kakak saya sempat whatsap dan menawarkan “amplop” sebagai tanda maaf, tapi tidak digubris. Oke, berarti dia gak mau amplopnya kan ya. Alamdulillah. Saat saya datang sempat terjadi perdebatan dan penawaran, kalau masalah diharga yang menurut saya kemahalan, ybs bisa menurunkan harga sama dengan notaris. Tapi saya terlanjur kecewa dengan ybs. Saya warganya yang masih berduka kehilangan bapak saya, kenapa masih harus dipersulit.

Hal yang membuat saya ilfeel sejak pertama kali ketemu ybs adalah saat dia menanyakan, “How much money do you have?” Hah, apa urusannya nanya-nanya duit segala. Feeling saya nggak enak. Ternyata oh ternyata. Oke, jadi saya udah bayar jasa notaris nih ya dan mereka langsung bergerak ngurus berkas. Dimulai dengan pengukuran tanah dengan petugas BPN, 2 minggu kemudian tim notaris ke kelurahan untuk mengurus surat-surat di kelurahan. Kemudian saya ditelepon oleh bu notaris kalau timnya kembali dipersulit oleh bapak B. Saya langsung naik darah lagi dan mumet. Tim notaris dimintain duit sejumlah sekian persen dari NJOP. Tunggu tunggu, anda siapa ya? Emangnya ini tanah moyangmu?

Keesokan harinya saya, kakak, seorang perwakilan dari kantor notaris kembali datang ke kelurahan. Kali ini kami datang untuk bertemu dengan pak lurah langsung. Sesampainya di depan kelurahan kami menanyakan keberadaan pak lurah dan dijawab tidak ada, beliau sedang rapat di kecamatan. Di dalam ruang tunggu kami bertanya lagi ke petugas loket, jawabnya nggak ada dan disuruh menghadap ke bapak B lagi. Akhirnya kami bertiga masuk ke ruangan bapak B dan menanyakan keberadaan pak lurah, dijawab lagi tidak ada.

Lagi-lagi kami kembali disuruh duduk dan ngobrol dengan bapak B dan terjadi perdebatan alot. Setiap kali kami bertanya, seperti biasa ybs menjawab dengan muter-muter. Sampai akhirnya pak lurah lewat dan kami langsung minta ijin masuk ke ruangannya. Yeeee ternyata pak lurah ada di kantor juga.

Kami laporan ke pak lurah kalau kami dipersulit dalam pengurusan dokumen di kelurahan. Nggak lama kemudian kelar dong 2 lembar surat pertama. Seminggu kemudian selesai dong urusan di kelurahan. Emang kudu ngadep ke pak lurah langsung ini sih. Jadi pertama kali saya datang ke kelurahan itu tanggal 26 Mei 2023, dan dokumen selesai diurus di kelurahan tanggal 2 Agustus 2023. Entah sudah berapa kali saya ijin nggak ngantor demi bolak-balik menghadap bapak B di kelurahan. Gilak, gw sibuk lho, disuruh ke kelurahan mulu. Nggak terhitung berapa kerugian waktu, tenaga, mental, fisik, emosi, duit buat bolak-balik ke kelurahan. Percaya nggak kalau saya sampai stress gara-gara bapak B itu.

Kalau ada warganya yang minta tolong mbok ya dibantu. Saya dan kakak ketemu pak lurah pake seragam dinas, bukan pake kaos oblong awut-awutan dan gembol balita. Jadi pak lurah pun mau nemuin kami. Ceritanya pertemuan 3 instansi. Gak kebayang gimana kalo warga awam biasa yang nggak punya pengetahuan soal birokrasi pengurusan sertifikat ini. Udahlah gak punya duit, dikadalin lagi. Kasihan kan. Untunglah saya gercep curhat ke bu notaris baik hati.

Akhirnya berkas sudah masuk ke BPN dan sedang tahap pengajuan PBT. Selanjutanya saya menunggu kabar dari notaris lagi. 3 bulan doang nyangkut di kelurahan, aigo. Betapa bobroknya kualitas pelayanan di instansi terendah di bawah kecamatan di kampung saya ini. Demikian isi keluhan saya ini. Terima kasih sudah membaca hehe.

1 thought on “Pengalaman Mengurus Dokumen di Kelurahan”

  1. Selalu ada lapor.go.id yang bisa menjadi sarana whistleblower oknum-oknum sampah seperti bapak B tsb. Semoga selalu lamcar urusan ke depannya dan dijauhkan dari keparat tengik kayak beliau.

Leave a comment